Senin, 21 Maret 2011

arsitektur dan budaya

Arsitektur Hemat yang Melestarikan Budaya Setempat

Pernah dengar tentang frugal architecture ? Kalau diartikan secara harfiah, dalam bahasa Inggris "frugal" berarti hemat dan sederhana. Berarti gampangnya, kita bisa memahaminya sebagai arsitektur yang hemat dan sederhana. Selama ini, sebagian besar dari kita mungkin melihat bahwa karya-karya arsitektur selalu terlihat megah, identik pula dengan mahal. Tapi tidak demikian menurut arsitek Eko Prawoto.
Hari ini, arsitek asal Yogyakarta ini memberikan ceramah seputar frugal architecture, di rangkaian acara Lecture , yang masih merupakan bagian dari event Jakarta Architecture Triennale (JAT) 2009. Mengutip dari salah satu buku, Pak Eko, mengatakan bahwa frugal architecture bukan hanya diartikan hemat biaya. Ada beberapa poin penting yang perlu diperhatikan mengenai arsitektur yang satu ini.
Pertama, frugal architecture selalu memperhatikan lahan dan budaya di sekitarnya. Jadi, ga ada tuh , karya arsitektur yang "bermusuhan" dengan alam. Karya arsitektur yang dibangun harus menyesuaikan dengan keadaan alam sekitarnya. Jangan sampai nantinya bangunan yang didirikan malah jadi merusak alam, jadi lebih ramah lingkungan, kan ? Begitu pula dengan budaya sekitarnya. Sebelum membangun rumah atau bangunan apapun, kata Pak Eko, penting diketahui tradisi, budaya, bahkan sejarah daerah sekitar area dimana bangunan akan didirikan. Semua hal ini akan menjadi inspirasi berharga, saat mendesain bangunan.
Poin kedua adalah mengutamakan penggunaan teknologi sederhana, bahkan kalau perlu menggunakan benda-benda buatan tangan. Berkaitan dengan poin kedua ini, ada pernyataan menarik dari Pak Eko. Menurutnya, selama ini orang-orang yang hidup di negara berkembang, khususnya Indonesia, selalu menjadi konsumen dari karya-karya kreativitas negara-negara maju. Padahal Indonesia punya lebih dari 300 tradisi, yang bisa menghasilkan banyak karya kreatif.
Itu sebabnya Pak Eko sangat senang mengeksplorasi setiap budaya yang ada, saat akan membuat sebuah karya. Dia juga sering sekali menggunakan material bekas, yang bisa digunakan kembali. Kusen pintu dan jendela, daun pintu dan jendelanya sendiri, bahkan bata pun, kalau ada yang bekas pakai, tidak perlu beli yang baru. Pantesan jadi hemat, ya ?
Poin terakhir, masih berkaitan erat dengan poin sebelumnya. Frugal architecture bertujuan untuk memperkenalkan lagi bentuk-bentuk pembangunan lokal, yang menggunakan keterlibatan masyarakat dan penggunaan teknik-teknik yang sederhana. Bingung? Maksudnya, jenis arsitektur ini bertujuan untuk memperkenalkan lagi penggunaan teknik-teknik arsitektur, yang bisa dibilang sebagai bagian dari tradisi. Contoh mudahnya, anyaman bambu, yang sekarang sudah jarang ditemui apalagi digunakan, kecuali mungkin di daerah pedesaan.
Pak Eko bilang, kalau kita terus-terusan menjadi konsumen dari produk-produk teknologi canggih, lama kelamaan tenik-teknik tradisional bisa punah. Sekarang pun mungkin sudah tidak banyak orang yang bisa menganyam bambu. Padahal, menurutnya, sentuhan-sentuhan tradisional terasa personal dan unik. Emosi yang muncul dari benda-benda buatan tangan, akan lebih terasa, dibandingkan dengan benda-benda hasil teknologi canggih.
Memang sih , benda-benda buatan tangan biasanya tidak sempurna. Mungkin ada yang miring, tidak rapi, dan sebagainya. Tapi menurut arsitek yang satu ini, justru pada ketidaksempurnaan itulah terletak keunikan dan kelebihan sebuah bangunan. Oleh karena itu, seharusnya bangunan-bangunan seperti ini, mendapatkan penghargaan lebih.
Hmm , ternyata memang tidak sekedar hemat. Frugal architecture juga sangat memperhatikan lingkungan dan budaya setempat. Ga heran, biasanya karya-karya arsitektur, yang termasuk frugal architecture , memiliki sentuhan budaya, entah itu bergaya etnik Jawa, atau bergaya ala budaya daerah-daerah lainnya. Selain itu juga ramah lingkungan, salah satunya ditunjukkan dengan membuat bangunan yang punya banyak sekali bukaan, jadi ga pake AC. Pastinya juga lebih hemat karena banyak menggunakan material bekas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar